Kamis, 12 Januari 2017

Dalihan Natolu (Dasar Filsafat Batak)





Indonesia adalah salah satu anomali jagatraya. Sebuah negeri yang sangat sulit menggambarkanya, seperti kemustahilan jika dibandingkan dengan tempat-tempat lain di dunia. Keberagamannya sangat rumit,ia ibarat sebuah lukisan yang terbuat dari banyak warna dan corak, menyatu menjadi sebuah karya agung yang menakjubkan.
Salah satu dari "puzzle" kebinekaan indonesia adalah keberadaan suku-suku tradisional yang mendiami bukit-bukit dan lembah-lembah, pesisir pantai dan dataran-dataran yang membentang dari sabang hingga merauke.
Etnis Batak/Bataknese adalah satu diantara suku bangsa tersebut.
Nama Batak sendiri merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasi beberapa etnis yang berdiam Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara. 
Sejarah keberadaan ethnis Batak memang simpang siur, tetapi bukti-bukti bahwa peradaban Batak Kuno sudah eksist ribuan tahun lalu bisa ditelusuri dengan peninggalan-peninggalan berupa Sarkofagus, artefak dan situs-situs kuno lainnya.

Yang dikategorikan sebagai Batak adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. 

Kebudayaan Batak kuno meliputi Aksara, Arsitektur, Sistem Kepercayaan, Sistem Sosial Kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan tentang alam raya (astronomi dan zodiak).
Dalam kenyataan sehari-hari, masyarakat Batak mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah Bangsa/Bangso, yaitu Bangsa Batak, bukan sebuah suku. 
Dalam sistem kepercayaan, masyarakat Batak awal memiliki kepercayaan sendiri yang disebut Malim, tetapi saat ini sebagian besar telah menganut Agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam.
"Identitas Batak" mulai populer dalam sejarah Indonesia setelah didirikannya organisasi Jong Batak, yaitu tergabungnya pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba, dan Simalungun pada tahun 1926. Mulai saat itu pemuda-pemuda Batak mulai melakukan eksodus ke kota-kota besar dan mengukuhkan eksistensi sebagai salah satu etnis yang berpengaruh.
Yang paling populer dari masyarakat Batak tradisional adalah sistem kekerabatan, yang terangkum dalam filsafat Dalihan Na Tolu. Sistem ini merefleksikan hubungan antara sesama masyarakat yang dianggap sebagai aturan baku demi tercapainya keadilan ditengah-tengah masyarakat.

1. Somba marhula-hula
Hula-hula dalam istilah adat adalah "Keluarga dari pihak Istri". Dalam budaya yang patrialistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga perempuan tidak dibenarkan untuk meminang laki-laki. Apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige, (bagot adalah pohon penghasil nira (tuak),sumber tuak berada pada mayangnya, untuk sampai di mayang tersebut diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Dari peribahasa ini berarti bahwa bagot itu pasif, tidak bisa bergerak, yang bergerak menghampirinya adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki yang bukan kerabat/saudaranya dianggap menyalahi adat. 
Pihak perempuan dihormati karena bersedia melepas putrinya sebagai istri. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada orang tua istri, tetapi sampai kepada tingkatan opung dan seterusnya.
Hula-hula memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan setiap laki-laki, terutama dalam upacara Saurmatua ( upacara yang diberikan terhadap orang yang meninggal, dimana orang tersebut meninggal dalam keadaan semua anak dan boru-nya telah berkeluarga dan mempunyai keturunan).
Biasanya pihak keluarga yang meninggal akan memanggil satu-persatu dari keluarga hula-hulanya, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane. Memanggil disini berarti : pihak hula-hula akan melaksanakan masing masing acara adat yang telah ditetapkan, seperti manortor, memberi ulos, memberi kata-kata penguatan, dll.
Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na.. Gadong (ubi) dalam masyarakat Batak kuno dianggap salah satu makanan pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo). Siraraon adalah kondisi ubi hampir busuk dan berair, rasanya hambar. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati keluarga Istri dan Ibunya, nafkah/rejekinya akan terasa hambar.
Dalam adat Batak, pihak boru lah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula, sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk di olah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).


2. Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga Bangsa Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat ia akan menyatukan diri kembali. 
Misalnya: 
- Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). 
-Toga Sihombing menjadi Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.
dll..
Dongan Tubu dalam adat batak berperan sebagai pelaksana adat bagi tuan rumah yang disebut Suhut. Kalau marga Pakpahan mempunyai acara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga Pakpahan. 
Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, Yang tidak bijaksana dalam "menghadapi" kakak-adik nya, maka ia akan menghadapi sesuatu yang tajam.. maksudnya adalah potensi keretakan dalam hubungan kekerabatan dongan tubu akan selalu ada, sehingga harus disikapi dengan bijaksana dalam bersikap dan memutuskan suatu perkara.
Dalam adat Batak, ada istilah Panombol atau Parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu kegiatan adat (pesta pernikahan atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.


3. Elek Marboru
Boru secara sederhana adalah anak perempuan, secara luas ia berarti sebuah kelompok yaitu saudara perempuan kita dan keluarga suaminya, serta seluruh keluarga perempuan dari marga kita juga disebut boru. 
Misalnya, Gorga memiliki saudara perempuan, menikah dengan laki-laki dengan marga Tobing, maka keluarga Tobing adalah pihak yang jadi boru bagi Gorga. 
Istilah elek marboru. dalam bahasa Batak, kata Elek biasanya diartikan sebagai membujuk, elek marboru berarti kita harus menghargai dan menyayangi boru seakan-akan kita harus merayu-rayu dan membujuknya, membuat hatinya senang saking berharganya boru. Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat tinggi, pengusaha atau pendeta harus sibuk jadi pelayan tamu dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.
Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan, misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru, dan yang ketiga sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan acara adat.

Kurang lebih itulah pengertian Dalihan Na Tolu secara sederhana.








0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com